aldiantara.kata

Di mana tempat terbaik menghabiskan kopi sebelum pergi?

Pikiran yang tak pernah bisa beristirahat. Aku curiga kenangan-kenangan terangkum pada sorot lampu oranye kota ini. Serta gemercik sungai syahdu sempurnakan malam. Jejak kota yang tak puas disinggahi. Raga yang segera berpindah, kapan segalanya bisa terulang.

Pulang. Buah tangan tampil sebagai daftar pemberitahuan. Kota baru belum segera tergapai. Ia sudah brengsek membawa kesibukan.

Dipan yang dingin dibilas embun, padahal merindukan perenungan. Sisa waktu… Hingga berakhir pada kursi penerbangan. Kota yang lamat lamat menjadi jauh dan kecil.

Namun apakah waktu bisa tersisa? Sisa yang manusia sebut sisa hanyalah penyebutan sisa. Hanya aku yang mengikat. Lalu kini terkekang lalu mengejar waktu yang tak kemana mana.

Ingin segera terbangun. Asing berdiri di atas tanah kelahiran. Tanpa siapa-siapa selain berhadap ketakutan.

“Kau tak punya apa-apa, pun siapa-siapa. Bertahanlah di kota ini, tinggal kau umbar pencapaian-pencapaian lama yang memabukkan.” Bisiknya.

Bagaimana dengan hari esok?

Hari esok adalah hari ini dengan kesempatan berbeda. Bertengkar dengan bayang sendiri.

Kapan saat terbaik untuk menyimpan kata-kata?

Biarkan diri bekerja tanpa harus memberitahu mereka. Aku bukan penyabar untuk selalu tergesa-gesa.

Selesailah. Segera. Aku hanya ingin terbiasa melakukan apa yang aku suka. Terpendam sejak lama.

Aku tak hendak membelakangi kota kelahiranku. Kutitip rindu kepada setiap jengkalnya. Namun aku tak miliki siapa-siapa di sana.