aldiantara.kata
Apa yang hendak kita rayakan, selain kehidupan yang semakin suram. Apa yang hendak kita peringati, selain keadilan yang t’lah lama mati. Apa yang hendak kita ramaikan, selain berziarah dan berdoa di pemakaman, tentang korban-korban pandemi yang silih bergiliran.
Kita sibuk menertawakan pledoi terpidana.
Kita sibuk menertawakan kehendak kita yang sebatas ceramah kosong.
Merah putih melangit malu-malu. Si miskin masih menghormat dengan khusyuk, sembari beriman kepada sila keadilan sosial. Bernyanyi dengan suara bergetar antara lapar dan teror aparat yang bertanya perihal rumah bantaran sungai cemar yang segera digusur. Juga usaha mikro yang merana dijahili aturan lawak.
Indonesia raya berkumandang terlebih dahulu instrumentalia-nya. Orang-orang lupa lirik, seakan lupa tanah airnya. Terlambat mengikuti nadanya. Siapa yang menggadai negeri ini kepada asing? Kehendak kita adalah kehendak pemodal dengan penawaran yang sesuai.
Pemuda pemudi Rengasdengklok mendesak segera merdeka. Pemuda pemudi kini mendesak lapangan kerja. Lapangan upacara belum penuh sedialalu, tusuk hidung dulu, uang recehan tak genap hingga kemudian jaminkan ginjal.
Tolong jangan bahas Dwitunggal Sukarno-Hatta pada pidato upacara.
Tiada tanah tumpah darah, tanah milik pemodal. Apa kehendak kita, kehendak kita adalah kehendak yang sejalan dengan kekuasaan. Kemerdekaan kini adalah penangkapan-penangkapan kritikus pemberi saran, mereka yang berani bersuara dibungkam dengan ancaman persekusi dan ragam siksaan. Kita manusia manusia yang dipaksa tak boleh berkehendak. Apanya yang merdeka. Apanya yang berdaulat dan cita cita keadilan sosial yang luhur.
Jangan-jangan penghormatan kita kepada merah putih adalah baliho yang penuh kepalsuan. Penghormatan kepada merah putih adalah kepentingan-kepentingan lima tahunan serupa wujud bhakti mengabdi diri sendiri. Hanya ibu pertiwi yang tak kunjung menurunkan tangannya dalam penghormatan sebagai dirinya sendiri. Manusia berbakti kepada tanah tumpah darahnya, tidak kepada pemangku kuasa yang menindas.
Ah, menghormat jangan sebagai profesi, apalagi menjadi twibbon-twibbon pencitraan yang busuk! Seolah menghormat, padahal berkhianat!
Apakabar tanah airku yang malang. Sesakit apa korporat-korporat mengekangmu dari kemerdekaan. Perjuangan dahulu mengangkat senjata dengan musuh yang sama dari negeri yang nun jauh. Perlawanan masa kini terhalang ragu melawan kenaifan bangsa sendiri.
Pemuda-pemudi mendesak dwitunggal untuk segera merdeka di Rengasdengklok, proklamator bersiap bacakan naskah buah pikirannya. Naskah piutang negara kini menjadi tanggungan anak cucu nanti. Naskah pekerti siapa mau mengabdi.
Apa kehendak kita?
Negeri merah dan putih berjalan tertatih. Tahun ini masih bermasker dan biaya PCR mahal. Pendidikan masih lesu. Lapar dan takut mati menjadi pekikan meriah setelah kata, “merdeka!”
“Merdeka!” diteriakkan dengan lantang dan hampa. Seni bertahan hidup menjadi perlombaan menjanjikan. Siapa yang hendak merdeka duluan? Cari orang dalam! Jarah tiap tiap kesempatan. Sikut yang berpotensi ancaman. Cinta tanah air mewujud menjadi cinta pragmatis!
Bukan tidak percaya kepada harapan, melainkan sudah terlampau mual dengan janji-janji pada baliho sepanjang desa. Pengkhianatan terhadap bangsa kerap sulit terobati, namun penderitaan rakyat bukankah harus segera ditangani. Agar kesenjangan sosial tak kian menganga. Nyiur tanaman kelapa menemukan kemerdekaannya tak jadi penghias jalan. Serta, kehendak putra putra bangsa yang menemukan jalannya untuk mewujud.
Tinggalkan Balasan