Jatuhku tanpa beban. Ketika sore di usia belia kuiisi dengan hanya bermain bola di lapangan perumahan beralas rumput berbekal uang jajan. Keringat selepas main dibayar oleh air segar untuk mandi dan makanan yang siap di meja makan. Tidur tanpa rasa takut, pikiran hanya menuju: apakah guru akan memarahi akibat PR yang tidak kukerjakan sungguh-sungguh. Orang tua katakan untuk tidak lupa sarapan, sembari mewanti-wanti agar tidak sisakan makanan, minum susu, dan bersyukur kepada Tuhan. Dibekalinya roti dan uang.

Meski darah manusia berwarna sama, lagu nasib tidak semua merdu. Nasib seorang gelandangan yang berlari mengejar Bus Kopaja. Harus jatuh tersungkur di antara keramaian. ‘Anak’, pekikku dalam samudera hati. Bajumu tak membohongi takdirmu. Sejatuhnya dari bus kau bahkan tidak mengekspresikan rasa sakit atau sedih. Orang-orang didekatnya bahkan tak mengejar kemudian membangunkan dirimu. Bahkan preman meneriaki Bus, ‘Sudah tidak usah ditunggu’. Berbekal lap lusuh, dirimu membersihkan mobil plat merah yang bahkan tidak kotor. Memang tidak sedikit manusia mencintai benda dibanding sesamanya.

Anak. Apakah pipimu tidak terluka? Luka yang membekas di aspal jalan akan segera terhapus hujan. bagaimana caranya agar bisa sabar dan memaafkan manusia-manusia serakah. Hatimu begitu besar menerima takdir. Tidak ada yang tahu orangtuamu sudah wafat, bunuh diri lantaran bunga rentenir yang kian mencekik. Atau bahkan dirimu yang masih bertanggung jawab kepada adikmu yang lugu. Bagaimana bisa wajahmu tidak menyimpan dendam. Menangislah, Anak. Bahkan dunia harus mendengar tangismu. Terbuat dari apa hati manusia kini?

Sementara di seberang jalan, seorang Bapak paruh baya menawarkan buku-buku pada mahasiswa. Untuk sekardus buku, si Bapak membutuhkan uang dua ratus ribu rupiah. Sang mahasiswa merasa enggan karena uang yang tempo dulu belum kunjung dikembalikan. Buku-buku yang ditawarkan pun tidak sesuai dengan minatnya. Tidak sedikit Bapak-bapak yang demikian halnya, tidak bisa mengembalikan hutang, atau bahkan orang lain yang menipu. Menipu kini merupakan softskill bertahan hidup. Penipuan pertanda bangsa ini waras. Di samping lapangan pekerjaan yang sedemikian sulit, serta kesenjangan sosial membumi langit. Beruntung pelarian tidak sepenuhnya pada bunuh diri. Pekerjaan apa kini yang bebas dari menipu? Ah. Aku malah tidak bisa membedakan ‘menipu’ dalam denotasi dengan ‘kedok’ yang menjadi baju sehari-hari manusia.

Pada saat tanganku masih menyusun tulisan ini, aku bahkan masih mengingat-ngingat perjumpaan mataku melihat si Anak yang terjatuh dari bus tersebut. Dalam perjalanan menuju stasiun, aku kala itu tak bisa berbuat apa-apa. Anak yang menghabiskan waktunya dengan bekerja. Tempat tinggal yang kekurangan air bersih. Tidur dengan rasa takut. Pikiran menuju: jemput karunia Tuhan sepagi mungkin. Memeluk diri menggigil saat malam. Ternyata tulisan Kahlil Gibran membuat mataku melihat pada sudut-sudut dunia yang ‘terabaikan’. Manusia papa yang ‘kasat mata’ membuat orang-orang lebih memilih kesibukan dan ambisi kantor serta pabrik. Bekerja kini dilakukan demi terpenuhinya keinginan tak berdasar. Sementara industri tak henti-hentinya menyuguhkan barang dan promosi. Gibran dari abad-19 berbicara kepadaku agar manusia modern harus memperbanyak buku-buku sastra.

Gibran katakan, ‘Cinta lebih utama daripada kebaikan yang tak mengandung cinta; karena air mata cinta lahir dari kedalaman jiwa seperti makhluk bernyawa.’ Juga, ‘Harta yang yang jika tidak digunakan untuk kepentingan dan atas nama roh, akan lebih mengerikan daripada segala petaka dunia.’ Juga, ‘Apa yang dapat diperbuat untuk mereka yang sekarat? Penderitaan kita takkan melenyapkan kelaparan mereka. Dan air mata kita takkan memusnahkan kehausan mereka; Apa yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan mereka. Dari tengah-tengah cakar-cakar besi kelaparan? Saudaraku, kebaikan hati yang mendorongmu. Untuk memberikan sebagian dari hidupmu. Kepada seidkit manusia yang tengah berada dalam bayang-bayang kehilangan hidupnya. hanyalah kebajikan yang menciptakan bagimu cahaya siang dan kedamaian malam yang pantas. Ingatlah saudaraku, uang yang kau berikan ke dalam tangan lemah. Yang menadah ke arahmu. Hanyalah rantai emas yang mengikat hatimu yang kaya. Dari hati Tuhan yang penuh cinta.

Mendistribusikan harta tidak lantas membuat diri kekurangan. Sastra yang melembutkan hati, tidak hanya soal percintaan menuju pelaminan.**