aldiantara.kata

 

Kau tau sebab manusia senang dengan momen rewind? Suatu tanda manusia senang berefleksi. Mengingat-ingat. Bukankah benar suatu ungkapan bahwa seseorang tidak bisa merubah masa lalu, namun bisa merencanakan masa depan?

Rintik hujan selalu punya sejarah.

Masih dengan lagu-lagu yang sama, perasaan yang dipaksa untuk merasa lega.

“Tafsir terhadap hujan: turunlah hujan atas kuasa Tuhan agar sang penjaja koran dan sang pengamen mampu berteduh di tempat khalayak ramai. Agar nurani manusia saling merangkul. Agar khalayak tahu pentingnya menyalurkan hartanya kepada mereka, tanpa menegaskan siapa yang dermawan, siapa dhuafa.” (Puisi Hujan #2)

“Tiga hari ini hujan datang pada pagi hari. Adakah seseorang menemani. Manusia datang menghampiri berbincang dengan bahasa yang tidak dimengerti. Sudah kukatakan bila hujan datang sebagai teman. Ia turun mewakili air mata yang memilih untuk tidak dialirkan mata. Bahkan seorang kesepian enggan menjadikan air matanya sebagai temannya sendiri.” (Puisi Hujan #3)

“Kepada hujan yang kelak datang menjelang fajar…
Ubahlah rindu menjadi kesyahduan yang tersampaikan pada kekasihnya.”
(Puisi Hujan #4)

Hujan adalah pesan. Hujan adalah bait doa.

“Hujan. Posisimu berada lebih dekat dengan Tuhan. Bungkuslah makanan-makanan surga-Nya dengan lapisan air. Agar si yatim dan piatu bisa makan buah pada musim hujan. Bungkus pula batang-batang emas surga-Nya dengan lapisan air. Agar si Bapak mampu membayar bunga rentenir yang kian mencekik guna keperluan pendidikan anaknya.” (Puisi Hujan #5)

Hujan adalah tragedi manusia tanpa kenal reda.

Kala musim hujan, setiap manusia membuat tenda ketjil di depan rumah-rumah mereka. Agar para musafir bisa berteduh dan mengunyah goreng pisang panas dan sebuah jeruk, serta segelas teh manis panas.” (Tenda Hujan)

Kekasih. Bila keesokan pagi kau temukan air yang tergenang di depan rumahmu sisa semalam, barangkali airnya mengandung pesan puisi yang mengetuk pintu hatimu. Bila malam ini kau sulit tidur, dengarlah rintik-rintiknya, meski diksi-diksi ini tak seagung air dari langit. Tak se-syahdu malam yang menyatukan para pecinta di bawah derasnya.” (Puisi Hujan #6)

Hujan adalah rayuan.

“Hujan tlah dan sebelum
Bumi basah tanah terinjak
Kau datar menjadi alas bagi demonstran juga aparat.
Kau yang tak berpihak tanpa sebut sepatah kata
Kau yang punya cinta tanpa mau buka suara
Kini kau sibuk bersetubuh dengan hujan tanpa mau berpuisi”
(Puisi Hujan #7)

Bila hujan mengusap jejak langkahmu agar aku tak bisa mengikuti,  jangan bersedih sebab isak tangismu tlah tertinggal di banyak bekas baju sisa pelukan. Menuntunku menjadi pelabuhanmu meski enggan dikau bersuara apa sebab.

Izinkan aku menjadi hujan dalam deras dan rintiknya. Membuatmu tertegun sesaat, mengenangku lalu, dalam ketiadaan. Menyambut pelangi sebagai tanda permulaan baru. Terlupaku.” (Puisi Hujan #8)

Hujan adalah bekas air yang mengering terinjak, terlupa.

Rindu merupakan kepedihan dari rintik menuju deras hujan, yang takkan pernah terbasahi. Setelah sekian lama rentang waktu tak bertemu, tak bisa luka rindu terobati dalam esa pertemuan. Ia akan terus mencari sabtu, dan waktu.” (Puisi Hujan #9)

Seseorang mengatakan kepada sang gadis, “Jalan menuju rumahmu yang berandanya berdebu dahulu merupakan jalan rusak, tengoklah, kini tiada lagi jalanan berlubang dan berbatu tajam ke arahmu, kini sudah diperbaiki. Bahkan kini rintik menziarahi tiap jengkalnya.” (Puisi Hujan #10)

Hujan menjadi perantara penyembuh ajaib!

“Meski rintik yang ditemani angin menggerakkan tirai-tirai jendela, mengapa suaranya tak sampai pada indera pendengaran. Tak terdengar. Apa mungkin ia terhalang pikiran manusia yang padat. Kesibukan yang menghiraukan sekeliling. Ambisi menjadi kapas menulikan. Hingga hirau kepada suara alam.” (Puisi Hujan #11)

Hujan menjadi…cerita yang terlupa. Diantarakata.