Ada yang kukira akan abadi. Ada yang tak terbaca algoritmanya. Ada yang luput tak tersusun kata-kata. Tak cepat berlalu, yang telah lalu, setelah disimpannya pada brankas yang kita sembunyikan rapat-rapat kuncinya.

Segala kenang dan potret buram tertinggal pada mesin-mesin kehidupan, yang membawa kita jauh. Hari-hari yang akan terangkum pada bayang samar-samar. Serta bisik kata melalui bibirmu yang terdengar sebagian. Jeda koma, perjalanan yang kukira akan menjadi abadi.

Seberapa jauh bagaimana manusia menjangkau angkasa yang tak pernah kita bayangkan, manusia tak pernah selesai menyelami dirinya sendiri, menjangkau dasar atmanya sendiri. Seberapa jauh jangkau cahaya kota yang kita saksikan malam itu, manusia tak pernah selesai memahami kerinduannya sendiri, merangkai alasan-alasannya sendiri.

Ada yang kukira akan abadi. Pertanyaan itu, yang engkau utarakan selepas jeda tidur malam panjang, pada sebuah ranjang di antara daun kering ketapang di balik pintu, dan bunyi air kolam.

Ada yang kukira akan abadi. Perayaan itu. Waktu tidak berputar menziarahi sekon yang pernah dilewatinya. Bukankah manusia lah yang gemar menapaki fragmen-fragmen ingatan?

Ia gemar menandai waktu. Pada hari ini, yang lalu, atau esok. Lalu menulis ini dan itu sebagai hari istimewa. Petanda-petanda yang kemudian seperti memudar. Itu mungkin hanya menunggu sebuah luka.

Just try not to worry, you’ll see them someday, Cobalah untuk tidak khawatir, kita akan melihatnya suatu hari nanti, kata suatu lagu.