Bulan: Januari 2025

Ajaibnya Ide

Apa engkau bisa membayangkan, betapa ajaibnya ide itu. Seorang melahirkan ide. Bersusah payah. Lalu ide itu, berupa tulisan, yang terangkai menjadi kata-kata, diamini dan menjadi keyakinan jasad hidup. Ide itu diyakini dan diperdebatkan sekaligus. Sang empu manis tersenyum di bawah pusara. Terkubur material itu. Bertahun-tahun, berabad-abad. Sementara anak yang lahir menjadi buah pemikirannya, terus bergizi, kian mewujud menjadi amal yang baik bagi kemanusiaan.

Apa engkau bisa membayangkan, betapa berbahayanya ide itu. Ia menyadarkan khalayak yang sepertinya mati, padahal mereka hidup. Ide itu mengganggu kemapanan dan kepentingan yang dirasa akan abadi bagi mereka. Ia harus dibungkam, diringkus, musnahkan jika perlu. Padahal sia-sia. Mereka hanya dapat meringkus aspek materialnya saja. Sementara ide itu abadi, melekat kian erat, melebur melahirkan jiwa. Ia menyatu dengan darah dan air mata sekaligus.

Apa engkau bisa membayangkan, betapa sulitnya melahirkan ide itu. Ia kerap hinggap, namun tak kita anggap. Tak segera kita catat. Ide itu seringkali mengalami keguguran nasib dari kesementaraan hinggap. Dalam kemiskinan perenungan, dan kata-kata. Kita mungkin menyadari, manusia-manusia yang sepertinya hidup, namun pikirannya terkubur mati, sekian hari, sekian tahun. Sementara manusia-manusia yang kita anggap mati, kerap kita perbincangkan idenya, sejak zaman dahulu kala. Ia abadi!

Nutrisi yang Terlupakan

Khalayak gaduh soal nutrisi. Rakyat banyak berburuk sangka (atau mungkin sudah terlampau jengah dengan keadaan?),

“Berita ini lagi, itu lagi, buat nutupin kasus apa sih?”

Pion-pion maju mendistraksi lirik-lirik puisi yang hidup pada jagat maya. Fenomena, komentar, menjadi sorotan publik. Sesuatu sedang bekerja dalam sepi. Ia menjadi bom waktu yang siap meledak.

“Bukankah yang menang adalah mereka yang tak membaca berita?”

mungkin saja. Atau mereka yang berhasil menahan diri menahan syahwatnya agar tak sedemikian larut berselancar membaca berita-berita baru tanpa jemu. Hingga lupa waktu.

Kiranya nutrisi gratis banyak dipersoalkan. Adakah jalan pintas yang bisa manusia gunakan selain memasukkan makanan lewat mulutnya?

Demikian pula, nutrisi-nutrisi lewat buku, terabaikan. Berdebu. Tak ada yang peduli. Terabas lalui jalan pintas. Tanpa membaca!

Di samping penting memenuhi nutrisi fisik, jangan sampai pikiran kita kekurangan gizi. Atau memasukkan micin micin berupa hoax atau nutrisi yang belum jelas ke dalam pikiran kita.

“Back to School” dan Alienasi Pendidikan

Slogan “Back to School” sedang ramai menghiasi flyer-flyer yang menjadi status WhatsApp pekan ini. Hiruk pikuk para orang tua yang memenuhi toko alat tulis, sekilas memang menjadi penanda dimulainya semester baru. Sekilas pula, apa yang aneh dari slogan tersebut?

Rutinitas ini jelas hal yang lumrah. Setelah para siswa menyelesaikan ujian semester, bersukacita dengan liburan panjang, selanjutnya tentu memasuki semester baru. Apa yang mengganggu pikiran saya adalah kemiripan narasi yang digunakan oleh publikasi sekolah, “Back to School”. Mengapa harus menggunakan slogan tersebut?

Secara tersirat dari makna yang berlawanannya adalah pada masa liburan, anak tidak sekolah. Atau bisa juga menyiratkan adanya suatu jarak antara sebuah lembaga pendidikan dengan masyarakat.

Saya cukup sering meminta mahasiswa pendidikan di kampus untuk berpikir, “mengapa anak-anak selalu riang gembira ketika ada pengumuman libur?” Kemudian saya selalu memberi jawaban provokatif kepada mereka, “karena selama ini sekolah tidak menyenangkan!” para mahasiswa pun menyambut provokasi itu sembari tersenyum dan mengerutkan kening.

Lalu bagaimana membuat agar sekolah menjadi menyenangkan?

Sebetulnya apa yang menjadi tujuan dari pendidikan, sehingga seolah antara lembaga pendidikan dan masyarakat menjadi dua entitas yang berbeda. Hal tersebut secara tidak langsung menyiratkan pendidikan (berikut para siswanya) menjadi teralienasi dari masyarakatnya.

Masih belum sembuh dalam ingatan masyarakat, mengenai kasus koruptor yang merugikan negara ratusan triliun, merusak alam, namun mendapat vonis hukuman ringan ketimbang si pencuri ayam. Akhir tahun lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan (salah satu) kasus parisida, di mana seorang anak (siswa sekolah) tega menghabisi keluarganya. Padahal sang anak dikenal baik, taat beragama dan berprestasi.

Selain dua kasus di atas, tulisan ini tentu saja tidak mampu menampung semua permasalahan aktual, belum termasuk di dalamnya perihal pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial hingga judi online yang kian meresahkan.

Tentu saja saya tidak sudi jika pendidikan justru melahirkan luaran trouble maker, bukan menjadi problem solver. Trouble Maker sebagai film tahun 1995 yang dibintangi Boboho (Steven Hao) dan Paman Tat (Ng Man-tat) tentu saja membuat khalayak terhibur karena aksi jenaka. Namun jika menjadi trouble maker dalam bangsa ini rasa-rasanya sudah kian menjengahkan.

Belum kita membahas bagaimana materi-materi yang diajarkan di sekolah, apakah materi tesebut relevan merespon kebutuhan suatu masyarakat, atau tidak lebih sebagai penyiapan manusia yang akrab dengan kebutuhan pasar?

Sekolah atau “School” mestinya melampaui suatu bangunan yang terbatas. Ia tidak mengacu kepada suatu tempat. Pun ia tidak memiliki jam. Sekolah idealnya menjadi suatu proses pembelajaran tiada henti, pengaktualisasian diri terhadap realitas dan masyarakat di mana siswa tinggal.

Jika meminjam bahasa Talcott Parsons, pendidikan mestinya berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat. Pendidikan harus dikembalikan perannya dalam proses sosialisasi dan perpindahan nilai yang diperlukan agar seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik di masyarakat.

Di samping itu, pendidikan juga seharusnya menjadi saluran untuk mobilitas sosial dan pengembangan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Saat saya ikut kegiatan ronda pada salah satu desa di Klaten, tidak jarang saya melihat beberapa warga keluar untuk membuang sampah pada sungai kecil yang mengalir. Kini saya masih melihat dan menikmati luasnya sawah, alir sungai yang jernih, serta luas kebun jagung.

Kesadaran lingkungan jika tidak dijaga, satu atau dua dekade ke depan kita tidak akan menemukan keasrian lagi di Klaten dan Solo Raya, selain kelak akan kita saksikan maraknya hotel, kavling perumahan serta bangunan-bangunan tinggi demi memuaskan hasrat para pemodal yang tak pernah tidur mencari peluang bisnis. Kesadaran tersebut lah yang perlu dibangun dan dijaga dari proses internalisasi pengetahuan lembaga pendidikan.

Selanjutnya, jika akhir-akhir ini marak membincangkan tujuh gerakan kebiasaan anak Indonesia hebat yang diluncurkan oleh Kemendikdasmen, maka upaya untuk mengatasi alienasi pendidikan adalah dengan poin ibadah, gemar belajar dan bermasyarakat.

Antara belajar dan masyarakat tentu saja berkait kelindan, namun kita tidak boleh lupa, bahwa aspek spiritual menjadi sangat penting sebagai pemandu moral kemanusiaan.

Terakhir, saya ingin menutup tulisan singkat ini dengan lirik lagu yang saya suka dari Kepal SPI yang berjudul, “Belajar Sama Sama”.

Semua orang itu guru, alam raya sekolahku, sejahteralah bangsaku.

Gender dan Antre Toilet

Sebetulnya, saya cukup menyesal karena bertahan menjadi manusia yang tertib. Seperti memilih untuk tidak ngebel saat bangjo baru saja hijau, menegur pengendara yang lupa mematikan sein, hingga antre di toilet. Untuk kasus yang terakhir ini, sebagai manusia tertib, jelas saja saya tidak mau masuk ke toilet bertanda khusus perempuan meski keadaan kosong.

Dalam sebuah fragmen cerita yang akan aku bagikan berikut ini, barangkali juga pernah dialami oleh kalian. Namun, dalam pandangan saya, fragmen ini menunjukkan konstruk sosial masyarakat khususnya mengenai gender.

Masalah gender nyatanya tidak harus muluk-muluk sebagaimana kita membaca berita tentang femisida. Peristiwa-peristiwa yang pernah menggegerkan masyarakat seperti penemuan mayat perempuan dalam koper, mutilasi yang dilakukan oleh suami terhadap istri hingga bagian-bagian tubuhnya dijajakan kepada khalayak sekitar, keduanya contoh kejahatan luar biasa berbasis gender.

Namun, cerita berikut sebagai contoh yang lebih sederhana, yang bisa saja dilakukan dan dianggap normal oleh sebagian besar khalayak.

Mainan Milik Laki-Laki dan Perempuan

Suatu ketika, saya cukup terkejut melihat fasilitas puskesmas yang relatif sudah lebih keren dibanding satu dekade lalu. Fasilitas yang tersedia (saya melihat di beberapa puskesmas daerah Yogyakarta dan Klaten) relatif lengkap. Termasuk di antaranya ada area bermain untuk anak.

Tentu saja, pada hari-hari yang biasanya ramai, akan semakin ramai pada jadwal imunisasi anak. Antrean untuk mendapat imunisasi, jika tidak lekas sedari pagi akan mencapai antrean dua digit. Beberapa ada yang mengantre pada kursi ruang tunggu yang tersedia, sementara beberapa orang tua yang lain mengajak anak balitanya bermain di area yang tersedia agar anak tidak bosan. Terdapat variasi mainan seperti puzzle, buku bacaan, perosotan mini, alat kreativitas hingga kuda-kudaan serta mobil-mobilan.

Dapat diterka, bagaimana pun, terbatasnya alat bermain membuat beberapa anak harus menggunakannya secara bergantian dengan anak lain. Kebetulan, apa yang saya lihat adalah seorang anak perempuan yang dengan asik bermain mobil-mobilan, beberapa anak yang lain yang melihatnya nampak tidak sabar hendak bergantian.

Lantaran ibu dari gadis kecil itu tidak enak karena harus bergantian, ia berbicara dengan anaknya,

“Dek, sudah, ya. Masa’ anak perempuan mainannya mobil, kan itu buat laki-laki.”

Seketika saja ujaran dari Ibu tersebut secara otomatis ter-screenshot dalam memori ingatan saya hingga kini.

Sumbu pendek pikiran saya melalui fragmen cerita tersebut, sedari kecil memang sudah ada eksternalisasi dan internalisasi pengetahuan mengenai stereotip gender. Anak laki-laki harus kuat, perempuan harus lemah lembut. Cita-cita anak laki-laki menjadi normal untuk menjadi dokter, tentara, atau pilot. Sementara perempuan menjadi normal untuk menjadi guru, ibu rumah tangga, perawat, dan lain-lain.

Mainan laki-laki mobil-mobilan, sementara perempuan harus bermain dengan boneka. Fragmen yang tidak jarang dialami oleh siapa pun dan di mana pun, seringkali dijadikan suatu hal yang normal. Seolah ujaran sang ibu tadi sedikit banyak mewakili konstruk sosial mengenai gender.

Saat yang sama, sebetulnya teori psikologi perkembangan Diane N. Ruble cukup relevan diketengahkan. Di antara teorinya mengenai perkembangan gender, bahwa anak-anak usia satu dan tiga tahun telah “mempelajari” stereotip gender konvensional. Anak-anak dihubungkan dalam konstruk sosial gender ini seperti mobil-mobilan untuk anak laki-laki dan boneka untuk anak perempuan.

Selain itu anak-anak juga belajar mengasosiasikan jenis pakaian, seperti rok untuk anak perempuan dan celana panjang untuk anak laki-laki. Saat awal sekolah, tidak jarang anak-anak menghubungkan keluarga, pekerjaan dan gender, sehingga mereka memahami bahwa anak perempuan tinggal di rumah untuk mengasuh anak, mengurus rumah tangga, sedangkan anak laki-laki pergi keluar untuk bekerja.

Bagi sebagian kalangan, ini bisa jadi cuma urusan kecil. Tapi, hal ini jika disadari menjadi penting bagi anak dalam memahami peran, tanggung jawab, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini penting bahwa sosial turut mengonstruk pemisahan-pemisahan ‘mainan’ dan ‘pekerjaan’ laki-laki dan perempuan.

Padahal laki-laki dan perempuan memiliki hak, peluang, dan tanggung jawab yang setara, bukan?

Kesadaran mengenai kesetaraan ini lebih jauh akan memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih minat, hobi, atau karier tanpa dibatasi oleh ekspektasi gender yang mengekang. Kesadaran ini pula yang menjadi penting sehingga menghormati perbedaan dan memahami pentingnya kerja sama terhadap orang lain tanpa memandang jenis kelamin. Pun juga berdampak dalam mencegah perilaku diskriminatif atau kekerasan berbasis gender.

Nyesal Menjadi Manusia Tertib

Singkat cerita, setelah saya mruput mengambil antrean imunisasi untuk anak di puskesmas, dalam masa tunggu yang lama itu, tiba-tiba saya kebelet pipis.

Sesampainya di toilet, saya berhadapan dengan tiga pintu; toilet untuk laki-laki, perempuan, serta difabel.

Sebagai laki-laki, saya memilih untuk antre ketika toilet laki-laki terisi, sementara toilet untuk perempuan dan difabel tersedia. Lama saya menunggu, memang sedikit terbesit untuk masuk saja ke toilet yang tersedia, di samping karena tidak akan lama, juga keadaan agaknya sudah diujung ‘tanduk’.

Saya tetap memilih untuk antre menunggu toilet laki-laki terbuka. Hohoho. (Halah Sebenarnya tulisan ini ditujukan untuk meminta validasi karena saya bersikap tertib di toilet).

Kemudian saya melihat situasi sekitarnya, sepertinya tidak nampak tanda-tanda ada orang yang menuju ke toilet perempuan atau difabel. Saya agaknya tergoda lagi untuk masuk saja ke toilet yang tersedia.

Ah tapi dasarnya saya memang ribet. Saya tetap memilih menunggu.

Setelah itu, klak! Terdengar bunyi slot kunci yang terbuka dari toilet laki-laki yang saya tunggu-tunggu dalam masa penantian ini. Saya bersiap untuk bergantian masuk, ternyata setelah pintu terbuka, kulihat… perempuan. Badalah!