Bulan: Juni 2020

Gender Mainstreaming Gaib

Konten tulisan ini jangan diharapkan apa-apa. Kategorinya termasuk judul singa analisis kutjing. Di dalamnya belum lepas dari dampak yang dibawa oleh corona. Bisa disebut latepost. Tetapi memang pengalaman ini masih hangat.

Karena tidak boleh mudik, ayahku seorang pegawai kantoran memiliki kontrol yang ketat dari pekerjaannya. Setiap hari tidak bisa tidak untuk meng-update posisi. Tentu hal ini untuk memastikan yang bersangkutan tidak sedang berada di luar kota.

Lebih parah lagi tetanggaku, ancaman dari atasannya, kalau mudik, ya langsung pemutusan hubungan kerja alias PHK.

Selalu ada cara dibalik aturan ketat sekalipun, kenalan Ibuku justru tetap keluar kota melepas rindu dengan orang tuanya, sementara handphonenya dititipkan pada tetangga yang akan mengupdate posisinya agar terpantau tetap dalam kota.

Mudik yang menjadi tradisi tahunan, keluargaku selalu meluangkan waktu tiga sampai enam hari untuk ‘liburan di rumah nenek’. Heuheu.

Tahun ini luangan waktu tersebut tidak tepat dimulai selepas shalat ‘Id. Namun, setelah mendapat izin dari atasannya, berangkat juga.

Melalui media mainstream dan khalayak yang sedang sibuk bahas new normal atau titik puncak pandemi corona, di kampung halaman seperti tak terjadi apa-apa. Tak satu jiwa pun bermasker. Tak seorang pun menjaga jarak.

Corona seperti pandemi perkotaan. Hampir tak memiliki dampak apapun di kampung halamanku.

Aktifitas biasanya tidak jauh dari pertemuan keluarga, orang tua memberi nasihat kepada anak cucunya.

Memasuki usia satu setengah abad lebih. Nenek menjadi tempat kembali bagi anak dan cucunya. Sebagai cucu, ucapan yang lahir dari untaian katanya adalah nasihat kehidupan. Usia yang sudah dijalani yang belum tentu aku mengalaminya.

Nasihatnya menguatkan agar cucu-cucunya berbakti kepada kedua orang tua dan berpegang teguh kepada agama.

Namun di antara nasihat-nasihat indahnya, Nenek katakan, “lalaki migawe pagawean istri, ibadah.” Artinya kurang lebih lelaki yang mengerjakan pekerjaan perempuan (ranah domestik) itu bagian dari ibadah.

Nenek tidak pernah marah pada cucu-cucunya meski Ibu ceritakan karakternya yang galak, tidak pernah menyuruh apapun, yang ada menunjukkan keteladanan tanpa pamrih. Bertahun-tahun Nenek meng-handle ‘urusan domestik’.

Untaian kata yang menjelma seperti mu’jizat. Menundukkan segala ke’aku’an. Melemahkan ego diri. Terngiang pada alam pikiran. Menyisakan malu dan berpikir dalam. Diantarakatanya sangat berat.

Sejauh ini Nenek menimba pengetahuan agama dari Abah—kakekku, juga pengajian-pengajian rutin yang tak pernah absen untuk didatangi di kampung.

Kesadaran akan keadilan gender (secara sederhana) ini meninju muka ‘kaum terpelajar’ sepertiku. Tamatan sekolah dasar saja tidak, mengenal Pramoedya saja tidak, namun sudah adil sejak dalam pikiran.

Nasehat Nenek seperti Gender Mainstreaming gaib. Gaib lantaran diinternalisasikan melalui sekolah kehidupan yang tak ternilai rupiah.

Tak hendak mengatakan sekolah gender tidak penting, namun melihat permasalahan ini tanpa sentuhan pengalaman hidup rasanya kurang mengena’.

Belasan tahun sebelumnya, ketika aku sering berkelahi dengan kakak. Setelah melerai, Nenek sampaikan berulang-ulang hadis man laa yarham, laa yurham. Siapa yang tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi.

Hanya sedemikian. Belasan tahun berikutnya, dalam bangku perkuliahan dosen sampaikan konteks hadis mengenai Nabi Muhammad saw. pun ikut membantu urusan domestik, ikut membantu pekerjaan istri, termasuk di antaranya menggendong anak. Sesuatu yang ketika itu tabu, bukan urusan lelaki.

Ah, Nenek. Sayangnya engkau memang tak pandai berkata-kata. Ucapanmu adalah keteladanan. Kata-katamu adalah perbuatan yang kusaksikan.

Bantingan a la Mbah Tejo

Dalam berbicara, seringkali aku lost control, dalam arti diriku sendiri saja tak yakin apa ucapanku cukup jelas tersampaikan. Sering merasa tempo terlalu cepat.

Bilang, “Sudah makan belum?” saja pada orang lain, minimal harus kuulangi sekali. Karena lawan bicara biasanya akan jawab, “Haa?” “Haa?” “Haa?”…kemudian, “Oh. Sudah.”

Tetapi, banyak saran agar aku memperlambat tempo bicara, justru malah membuatku menjadi gagap. Tidak jarang pada akhirnya menjadi bahan olokan teman-teman.

Kadang ketika salah seorang teman bertanya, aku diam sebentar. Malah dia mendesakku dengan ulangan pertanyaannya. Dia tak tahu kalau aku sedang mengambil nafas untuk menjawab.

Setelah kurenung-renungkan problem tempo bicaraku, ternyata dalam beberapa waktu, aku bahkan mampu bicara dengan jelas perlahan seperti orang pada umumnya. Ada kesadaran yang muncul: aku perlu ketenangan dan kenyamanan kala berinteraksi dengan lawan bicara.

Anyway, ada hal lain yang kupikirkan ketika merenungi problem bicaraku di atas. Aku bisa membereskan persoalan bicara, ketika aku menemukan kenyamanan kala berinteraksi dengan lawan bicara.

Masalahku memang X. Tetapi aku butuh masalah Y untuk membereskan X.

Ok. Skip.

Tak perlu banyak penegasan lagi mengenai dampak corona terhadap perekonomian masyarakat. Bantuan-bantuan yang sejauh ini sudah tersalurkan. Tentu mulai menipis. Banyak di antaranya yang habis.

Terakhir, ada suatu fragmen hidup yang membuatku terenyuh. Pada akhir Ramadhan. Umat Muslim wajib membayarkan zakat fitrah. Singkat kata, seorang tetangga bertanya kepada Ibuku, “Apakah boleh membayar zakat fitrah dari beras hasil pemberian orang lain?”

Kota di mana kaki berpijak, sudah dipenuhi banyak orang melanjutkan hidup di luar rumah. Ah, ibarat mengembalikan semangat menulis setelah kehilangan laptop tidaklah mudah. Melanjutkan hidup untuk bersikap seperti biasa dalam keadaan ‘tidak normal’ bukanlah perkara mudah.

Ada banyak cara bertahan hidup dalam kondisi kritis seperti ini. Ada yang harus mengikuti protokol secara literal, diam segala cara agar tetap di rumah. Ada pula yang terpaksa oleh keadaan untuk keluar rumah dan mencari penghidupan namun tetap mengikuti aturan masker dan jaga jarak.

Dalam keadaan carut marut, ruwet, ruwet, ruwet, bangsa ini memang perlu wejangan dari banyak pihak. Termasuk dalam hal ini adalah pemikir dan sastrawan.

Hari ini aku membaca Utas dari twitter Sujiwo Tejo. Di antara pesan yang dapat kupahami bahwa kondisi saat ini belum siap untuk new normal. Masyarakat perlu menahan diri sampai keadaan membaik: tiada penambahan korban positif covid-19.

Selagi masyarakat menunggu, maka agar tetap survive dalam masa menunggu keadaan membaik, semesta manusia harus saling menanggung beban satu sama lain. Melalui Twitternya, Mbah Tejo ajak khalayak untuk bantingan semampunya.

Diksi yang digunakan budayawan kita bantingan, bukan donasi, bukan iuran, bukan persepuluhan atau zakat. Karena kupahami dengan bantingan, lebih mengena’. Apa yang ada di saku, kita banting. Kita keluarkan.

Sujiwo Tejo anjurkan itu dengan bahasa teknis yang jelas barangkali menunjukkan betapa gentingnya kondisi. Hasil bantingan dana ini yang dialokasikan untuk saudara kita untuk menghandle kehidupannya selama di rumah, menopang sementara penghasilan dari hasil usaha yang biasanya didapat di luar rumah.

Perlu kesadaran dari semua pihak. Baik kelompok percaya konspirasi atau tidak, secara ilmiah cara virus menular relatif disepakati. Baik kelompok yang memilih tetap di rumah atau yang memilih tetap survive dengan mulai menjalankan usahanya: semua relatif sepakat perekonomian sedang lesu.

Maka mari kita bekerja sama dengan asumsi dasar hal-hal yang disepakati: cara virus menular dan perekonomian yang sedang ‘demam’.

Mbah Tejo katakan juga dalam utasnya, “Secara goblok-goblokan, aku mikir jutaan pengangguran dan fakir miskin di Indonesia tuh bisa ditanggung hidupnya via bantingan duit kaum berpunya.”

‘Secara goblok-goblokan’ berarti tidak butuh banyak membaca buku, teori, ceramah, atau orang berpangkat profesor sekalipun untuk menilai kondisi saat ini. Ada banyak masyarakat yang harus ditutupi kebutuhannya.

Ok. Skip.

Tulisan ini kuketik semenjak semalam, lalu kulanjutkan pagi hari. Di halaman depan rumah. Mentari bersinar cerah. Sinar menyapa setiap pepohonan tanpa terketjuali. Beburungan hinggap dan terbang dari satu dahan menuju dahan yang lain.

Telingaku sembari mendengarkan adik-adik yang sibuk dengan gawai, pertemuan dengan gurunya lewat aplikasi. Intuisi datang menghampiri. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lain tak semestinya semandul ekonomi.

Covid-19 baiknya dijadikan momen agar antara teori dan realitas agar tak kembali saling LDR. Dibutuhkan guru progresif yang menghadapkan kepala murid-muridnya kepada kenyataan yang sedang dihadapi kini.

Berdialog dengan realitas, mengasah kepekaan dan kepedulian sosial, saling menginternalisasikan pengetahuan dan keteladanan.

Aku kira sekolah akan kembali menyenangkan dan tak membutuhkan tanggal merah. Masa pandemi khalayak nilai sebagai bencana, tetapi merupakan kesempatan emas bagi dunia pendidikan.

Guru dan murid bisa saling menulis refleksi. Guru mengenalkan mengenai kondisi apa yang terjadi dengan dunia dengan adanya covid-19, apa dampak yang ditimbulkan.

Guru dan murid juga bisa merencanakan gerakan sosial setelah sebelumnya diisi oleh pengetahuan-pengetahuan teoritis. Pengalaman para pelajar untuk mulai mengasah kepekaan dan mengaktualisasikan diri kepada suatu perbuatan baik sangat penting.

Agar mata para pelajar ‘tidak kosong’. Agar sekolah-sekolah tidak melewatkan momen aktual dan krusial ini sebagai momen belajar bersama. Karena setelah kepada pengabdian: meleburlah identitas guru dan murid. Guru dan murid menjadi identitas yang disandang bersama sekaligus.

Agar setelah corona berakhir, para pelajar tidak hanya mengingat-ngingat “Belajar di rumah”, “Nugas di rumah”, “Kapan reunian dengan teman-teman.” Namun juga turut berpikir, memikirkan nasib tetangganya, masyarakat sekitarnya.

Untuk menginternalisasikan ide ini tentu banyak cara kreatif yang dapat dilakukan, tidak mesti harus melanggar protokol kesehatan. Hal yang diharapkan adalah para pelajar bisa tumbuh dengan terlatih kepekaannya terhadap sekitar. Dan pendidikan tidak berakhir kepada tujuan-tujuannya yang pragmatis sesempit lapangan kerja. Namun kembali kepada fungsi pendidikan memanusiakan manusia.

Menginternalisasikan ide progresif tidak mesti dimulai dari sekolah ‘favorit’. Dibutuhkan kesadaran berbagai pihak. Andai ide bantingan Mbah Tejo ini diaktualisasikan, maka kesadaran para pelajar ini yang memulai dan meneruskan kepada khalayak luas. Ah, bahagianya melihat para pelajar kelak yang tumbuh berkembang sejalan dengan kepekaan yang tajam terhadap realitas. Hal tersebut tentu perlu dilatih dan diasah sejak dini. Pada saat inilah dimulai.

Pada saat tulisan ini berproses, aku sedang memikirkan nasib seorang di Facebook yang dilaporkan polisi karena menuduh covid-19 bisnis para dokter ketika ia mengurus rapid test.

Singkatnya, aku hanya meneruskan pesan Utas Sujiwo Tejo di twitternya. Sementara keadaan bicaraku masih dengan tempo cepat, seringkali pula gagap.

Jika aku naik angkot, aku senang duduk tepat di belakang supir. Karena dahulu suatu kali ketika naik angkot, penumpang penuh, sementara aku terpojok duduk di paling belakang. Rasanya berdebar ketika hendak sampai di tempat tujuan. Biasanya orang pada umumnya bilang, “kiri Pak Supir”. Turunlah orang tersebut.

Ketika aku hendak turun, “Kkkkkkkiri…kiriii.” Ah malu sekali rasanya harus gagap di depan umum. Betapa malunya hingga seakan semua penumpang menahan tawa kepadaku. Semoga kita semua tidak ‘gagap’ dalam menangkap keadaan masyarakat yang serba sulit.

Sekitar Hastag #KalijagaMenggugat, Dear Plt. Rektor: Pembacaan yang Sangat Pribadi

“#Kalijagamenggugat t’lah tiba..hore..hore..hore..hooore.” demikianlah bila lagu Tasya “Libur Tlah tiba’ dikontekstualisasikan pada momen ini.

Beberapa waktu silam jagad medsos sempat diramaikan dengan gambar-gambar meme berisi kritikan mahasiswa pada kampus UAD, UPI, dan UNY dan lain-lain, terkait mahalnya biaya pendidikan. Eh, kini giliran almamater saya menjadi viral.

Meski dikelilingi polemik mengenai UIN Suka liberal, pelarangan cadar serta disertasi Milkul Yamin, baik bung-bung gondrong rokok-an celana sobek atau akhi ughtea jenggot celana cingkrang hingga cadaran, semua sewarna dengan identitas almamater UIN sebagai kampus putih. Saya masuk ke UIN sejak 2013, hingga melanjutkan jenjang berikutnya di almamater yang sama pada tahun 2018 hingga kini.

Pada tahun 2013, sekitar bulan Agustus, baru saja mendaftar OPAK (kegiatan ospek kampus), senior-senior yang garang dan manja sudah menyuguhi maba aksi massa penolakan kedatangan Surya Paloh: demi mempertahankan kenetralan kampus dari parpol.

Seniorku juga katakan: “Anak UIN mah terkenal dengan mahasiswa-mahasiswanya yang kritis dan rajin demo. Harus kita kawal identitas kampus putih, kampus rakyat, kampus dengan biaya pendidikan murah. Kalau tidak: turun jalan menuju rektorat!!!!”

Eksternalisasi-internalisasi persepsi mendasar mengenai uang pendidikan murah tanpa uang pangkal menunjukkan komitmen besar mahasiswa di UIN tanpa ketjuali.

Kini komitmen-komitmen tersebut harus diuji dengan surat keputusan Plt. Rektor UIN Suka yang menetapkan pembayaran Dana Pengembangan Institusi (DPI) bagi mahasiswa baru ta. 2020/2021 sebesar 1500k. Menariknya, kebanyakan dari pembela maba ini sepertinya bukan dari maba itu sendiri, melainkan dari para senior-senior yang sudah tahu luar dalam kampusnya.

Ah bagi saya pribadi, keputusan menag berikut Plt. Rektor memang ditetapkan pada timing yang relatif kurang pas.

Dear Bapak Plt Rektor, tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankan muridmu, sebagai anak bawang kehidupan ini mengungkapkan beberapa hal. Dengan mata telinga saya sendiri saya menyaksikan ribuan orang terdampak PHK massal dan kehilangan pekerjaan mereka. Sebagian teman pada masa pandemi ini salah satu ortunya meninggal dunia setelah positif covid-19. Tetanggaku sendiri ibunya seorang penjaja koran lampu merah dalam keadaan difabel kakinya. Anaknya maba berkuliah di UIN Suka. Apakah kiranya Bapak sampai hati menerapkan keputusan ini?

Semua memang mampu diusahakan, tetapi apa iya tega membiarkan orang tua berhutang kesana-sini. Syukur mendapat pinjaman dari orang baik. Bagaimana dengan lingkungan pemberi dana berkedok lintah darat?

Yang Terhormat, Bapak Plt. Rektor. Sudah bukan menjadi rahasia umum, sejak saya berkuliah pada tahun 2013, sosok Bapak sudah harum sebagai dosen yang karib dengan mahasiswa-mahasiswanya, bahkan tidak pernah tidak dalam membantu mahasiswanya kala ada masalah.

Saya juga termasuk dari mahasiswa yang terbantu. Ketika itu saya dianggap oleh sistem kampus belum membayar SPP sehingga tidak bisa lakukan input KRS. Ketika menghadap Bapak yang kala itu sebagai kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tatapan dingin Bapak masih teringat di benak. Tidak butuh lama waktu, Bapak membantu dengan memberikan selembar note ketjil agar saya berikan kepada Bapak Muhadi sebagai staff TU, bertandatangan Bapak, agar urusan saya dibantu. Dan…….Selesai lah.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Ketika saya mendengarkan ceramah perkuliahan yang disampaikan oleh Bapak, berulang-ulang Bapak sampaikan kepada mahasiswa: “Tuubuu” (Taubatlah kalian semua). Mahasiswa sudah paham. Yang dimaksud adalah taubat bahasa. Minimalnya Arab dan Inggris. Dengan nada suara yang pelan perlahan, Bapak sampaikan ceramah perkuliahan. Semua mahasiswa dengan khidmat mendengarkan suatu teori Ma’na cum Maghza sebagai suatu pendekatan alternatif dalam memahami al-Qur’an—dengan bahasa yang ringan, namun tidak mengurangi bobot materi. Teori tersebut juga merupakan salah satu teori yang digagas oleh Bapak.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Diamanahi jabatan strategis di UIN tidak mesti menjadi “pion” menteri agama dalam meng-iyakan isi surat keputusannya. Tetaplah di samping mahasiswa, meski harus “nakal” kepada atasan. Tidak perlu lagi sepertinya diingatkan mengenai kisah Nabi Yusuf dengan kebijakan brilian dalam mengelola pangan di tengah paceklik, atau kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mengenai pentingnya membangun komunikasi yang baik dalam mengambil keputusan penting. Bahkan sekalipun perintah tersebut datangnya dari Tuhan. Apakah Menteri Agama Bapak anggap sebagai tuhan?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya dan rekan-rekan mahasiswa lain mungkin menyadari bahwa Bapak dalam kondisi yang serba dilematis. Bapak pun dan jajaran rektorat memiliki pertimbangan-pertimbangan lain sebelum membuat keputusan.

Ah, bagaimana jika Bapak gunakan saja teori Ma’na cum Maghza yang sarat kontekstual ini dalam mengambil keputusan DPI. Bukankah jelas konteks yang dihadapi bersama adalah covid-19 yang berdampak besar kepada perekonomian masyarakat, berikut mahasiswa. Alih-alih membuat keputusan progresif dan maslahat, sebaliknya, malah menjadi keputusan represif dengan menarik biaya tambahan kepada mahasiswa.

Kisah Nabi Yusuf dan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail juga bisa Bapak lakukan penelaahan secara progresif. Kisah Nabi Yusuf mensyaratkan pengelolaan pangan yang baik di sekitar paceklik dan kekeringan. Konteks saat ini di tengah pandemi seakan memberi pesan kepada pemangku kebijakan agar mampu menghasilkan kebijakan yang bijak, menenangkan, meringankan, bahkan kalau perlu menghilangkan beban. Sementara kisah Nabi Ibrahim dan Ismail seakan memberi pesan pentingnya audiensi antara mahasiswa dan pihak rektorat dalam pengambilan keputusan.

Ah, saya sedang bicara apa ini. Terkesan sangat indah sekaligus utopis. Barangkali persepsi kita berbeda ya, Pak. Bahwa pendidikan saat ini seperti halnya jual-beli alias bisnis. Urusan mencerdaskan mahasiswa, itu perkara lain. Ah aku yakin para dosen (sebagiannya) di UIN Suka juga tidak setuju dengan adanya penambahan beban biaya ini, tapi bagaimana lagi. Menyuarakan suara alternatif yang berbeda dari suara mayoritas akan dianggap suatu pembangkangan. Orang banyak mengebiri suara hatinya daripada harus kehilangan pekerjaannya. Mengerikan.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya juga tidak tahu apakah yang saya lakukan itu salah atau benar. Yang pasti saat ini penderitaan ekonomi rakyat benar adanya.

Kalaulah alasan Bapak Plt. Rektor bahwa uang DPI bisa dicicil selama tiga tahun, namun karena pendidikan kini berkedok komersialisasi dan bisnis, bukankah lebih baik jika kita bernegosiasi? Yang dihadapi Bapak yang terhormat bukanlah sekelompok siswa SD atau SMP yang penurut.

Dalam tenggat waktu tiga tahun seperti yang Bapak dalihkan, saya memiliki solusi alternatif. Konon, DPI ditetapkan untuk pengembangan sarana prasarana institusi. Pernahkah pula Bapak dengar desas desus bahwa lulusan UIN banyak menempati waiting list terbanyak dalam memperoleh pekerjaan? Alias susah kerja?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saran saya adalah daripada menarik uang sebanyak 1500k dan bisa dicicil dalam tenggat tiga tahun, lebih baik memberi modal kepada mahasiswa 1500k. Bukankah lulusan UIN tidak semua menjadi dosen? Tidak semua menjadi guru? Tidak semua memiliki pondok pesantren? Tidak semua memiliki modal? Daripada baru belajar ternak lele setelah lulus, lebih baik saat menjadi mahasiswa diberi modal dan pengetahuan untuk beternak sejak dini. Gunakan banyak relasi yang ada. Berikan modalnya.

Untuk apa para mahasiswa disuruh mengisi indeks prestasi yang pernah dicapai selama SMA atau sederajat pada Data Pribadi Mahasiswa di Sistem Informasi Akademik (SIA) kalau tidak dijadikan bahan analisis potensi masa depan. Buatlah cluster. Berikan modal untuk pengembangan. Jangan hanya yang juara karya tulis ilmiah yang diberikan modal pembinaan.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk menikung pacar atau istri orang lain, sebaiknya manfaatkan potensi skill speak speak iblis dalam komunikasi ini untuk menjadi Youtuber. Menjadi host podcast. Berikan modalnya.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk ngopi, sementara ide-ide brilian mereka menguap, berikan modal blog berbayar kepada mereka agar mereka bisa menumpahkan ide-ide mereka lewat tulisan.

Atau kumpulan-kumpulan tulisan terorganisir kemudian dengan nama besar Bapak salurkan kepada media-media massa.

Berikan modal juga kepada mahasiswa yang sudah biasa berjual buku-buku pemikiran, atau bisnis-bisnis lain.

Berikan pula mentor-mentor terbaik untuk mereka sebagai pendamping, pantau progres mereka. Keuntungan yang didapat oleh mahasiswa bisa dibagi hasil kepada kampus agar mengembangkan sarana dan prasarananya sebagaimana terencana. Dengan demikian, satu orang mahasiswa saya kira mampu mengumpulkan profit lebih dari 1500k yang diharus dibayarkan kepada kampus selama tiga tahun. Tanpa hutang sana sini. Tanpa membebani orang tua di kampung. Di samping itu, justru mahasiswa diberikan pengalaman kerja dan memperdalam passionnya.

Kalau modal kampus kurang, atau Bapak yang meragukan ide absurd ini. Tenang saja, Pak. Saya ada solusi alternatif lain, pertama, jual saja Pak beberapa mobil dinas kampus yang toh pejabat-pejabat kampus sebagian besarnya sudah memiliki kendaraan pribadi di rumahnya. Kedua, bisa gunakan saya dan mahasiswa yang spesialisasi demonstrasi untuk menuntut kepada Pak Menteri Agama agar cairkan dana untuk mahasiswa. Nah alternatif ketiga, bukankah rekan-rekan mahasiswa di antaranya ada yang memelihara……tuyul? Hohohoho.

Anyway, semua ini dengan maksud agar rekan-rekan mahasiswa ini sudah terbiasa bekerja, Pak. Daripada harus mengandalkan kartu prakerja yang nganu. Ruwet. Ruwet. Ruwet.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Apapun teknisnya nanti. Saya menunggu langkah progresif Bapak daripada harus menarik uang dari mahasiswa.

Tidak perlu banyak pikiran mengenai materi perkuliahan yang nanti akan tertinggal, Pak. Rekan mahasiswa sudah pintar-pintar. Materi perkuliahan untuk satu semester bisa dipadatkan untuk satu bulan. Toh bukankah mahasiswa selama ini dalam mengunyah dan mengejewantahkan materi perkuliahan banyak terbantu dengan Ctrl C dan Ctrl V?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Teori Ma’na cum Maghza yang digagas oleh Bapak saja sudah memantik banyak penelitian-penelitian jurnal atau tugas akhir. Saya pun bisa membayangkan bila langkah progresif Bapak tempuh. Hal ini mampu membuka mata khalayak ramai. Kebijakan kampus dekat dengan kemashlahatan masyarakat. Langkah utopis apapun tiada yang mustahil untuk dibumikan.

Di samping itu, kebijakan Bapak ini mampu memantik penelitian rekan-rekan mahasiswa, khususnya prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Agar tidak melulu berbicara konsep-konsep yang……Ruwet. Ruwet. Ruwet; Judul-judul yang cenderung dipaksakan. Melainkan kombinasi antara Al-Qur’an, teori Ma’na Cum Maghza, dan kebijakan publik, sosial-politik, sejarah, dan lain-lain, yang tentunya buah dari keteladanan Bapak.

Semoga Bapak sehat selalu dan dalam penjagaan Allah. Saya kangen mendengar cerita heroik Bapak dahulu ketika waktu silam menjadi saksi ahli dalam sidang BTP yang dinilai menistakan agama. Dengan pengetahuan Bapak yang mapan dan dalam mengenai al-Qur’an, Bapak berani menentang arus pandangan mainstream, membela yang tertindas, lantang mengatakan bahwa BTP dalam pengetahuan Bapak tidak bermaksud menistakan agama. Lantas, apakah saat ini Bapak sama beraninya dalam melindungi ‘anak-anak Bapak’ ini, mahasiswa-mahasiswi Bapak dengan mengambil kebijakan progresif? Barangkali jabatan Bapak sebagai Plt. Rektor tidak akan berlangsung panjang, buatlah murid-murid Bapak ini semakin bangga dengan langkah progresif yang ditunggu-tunggu.

Demikian tulisan ini dibuat. Mohon maaf atas semua kesalahan. Dari saya yang selalu menghormati Bapak Plt. Rektor.

Btw, kalau saya masuk parpol, parpol apa Pak yang cocok untuk saya? Heuheuheu.

Pada Suatu Seminar

Dalam suatu seminar, seorang narasumber dikenal publik tidak hanya karena pengetahuannya, namun juga ketidaktahuannya. Dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya pada sesi tanya jawab, lebih banyak ia hanya meresponnya, “Ah. Pertanyaan yang bagus. Bagaimana jika kita cari tahu jawaban bersama-sama? Saya tidak tahu jawabannya.”

Kepenyairan WS. Rendra

Selesailah aku membaca buku Rendra: Ia Tak Pernah Pergi. Buku ini diberi kata pengantar oleh Ignas Kleden, diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2009. Buku ini merupakan rangkuman tulisan yang pernah dimuat di harian Kompas selama kurun 30 tahun terakhir. Penamaan buku tersebut barangkali diambil dari ucapan Sutardji Calzoum Bachri kala Rendra wafat, “Tetapi saya tidak bersedih atas meninggalnya Rendra karena ia sebenarnya tidak pernah pergi. Seniman besar tak pernah pergi. Karyanya selalu besar. Inilah orang besar di antara kita.” (hlm. 329)

Dulu di bangku Sekolah Menengah Pertama aku pernah mengikuti lomba baca puisi untuk tingkat kabupaten. Dari beberapa pilihan puisi, kupilih “Doa Orang Lapar” WS. Rendra. Tak disangka sebelas tahun kemudian justru aku menjadi pengagumnya. Perkenalanku dengan Rendra juga melalui sajaknya yang dibacakan oleh seseorang dalam channel youtube. Tulisan di bawah ini merupakan pembacaan pribadi; sebagian poin-poin penting/rangkuman dari apa yang kubaca dari buku Rendra: Ia Tak Pernah Pergi. Hampir keseluruhannya merupakan kutipan langsung, sebagiannya kuubah sedikit redaksinya.

Sajak adalah media perjuangan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Tulisan Rendra selalu menyebabkan penikmatnya membayangkan suatu gambaran konkret menyentuh pengalaman. Itulah Willibordus Surendra Rendra, kelahiran Solo 7 November 1935. Tokoh Indonesia abad-20. Puisi bagi Rendra merupakan kekuatan bangsa menghadapi kekuatan-kekuatan yang dinilai sebagai musuh nurani bangsa itu sendiri. Rendra sempat menjadi lambang perlawanan Orde Baru. Puisi Rendra adalah puisi yang naratif, berkisah, dan menggali segi-segi yang terabaikan oleh dunia persajakan Indonesia. Tidak hanya sebagai penyair, Rendra juga dikenal sebagai teaterawan. Penggagas Bengkel Teater.

Seni tidak sebatas bentuk estetika, melainkan seruan hati nurani yang berfungsi kritis dan profetik. Seni harus kontekstual dan terlibat. Pembaca tulisan Rendra dibuatnya menjadi merenung, berefleksi, atau bercermin pada karya Rendra. Demikian menurut Bambang Sugiharto.

Rendra senantiasa mempertanyakan setiap gejala yang ditangkap inderanya, direnungkannya, dipertanyakannya kembali, dan seterusnya. Kumpulan-kumpulan puisinya menandai pergulatannya dengan situasi dirinya dan zamannya. Julukannya sebagai burung merak oleh Goenawan Mohammad. Lantaran sebagai seseorang yang pandai menari. Baik tubuh maupun kata-katanya.

Syu’bah Asa katakan, tidak ada seniman sejati yang tidak mencintai orang-orang papa. Putu Wijaya akrab dengan kawan-kawan gembelnya dan cekikikan bersama mereka, sementara Arifin C. Noer menyanyikan nasib para jelata dan nasib yang dihubungkannya dengan disain besar kosmis, adapun Rendra menggebrak untuk kepentingan orang-orang terlempar itu kepada dunia sebagai lingkungan nyata. Rendra barangkali seniman yang paling banyak berurusan dengan pemerintah, namun bukan karena ideologi.

Rendra menuturkan kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan di sekitarnya pertama kali dikenalkan kepada dirinya oleh seseorang bernama Janadi, yang merupakan seorang pembantu dari kakeknya. “Mas Janadi menjadi guru pribadi saya sejak saya berumur 4,5 tahun.” Rendra menghabiskan masa kecilnya di Solo, Jawa Tengah. Pelajaran yang diberikan Mas Janadi dirumuskan dalam kalimat “Manjing ing Kahanan, nggayuh Karsaning Hyang Widhi” (Masuk dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah.) Bekalnya rewes (kepedulian) dan sih katresnan (cinta kasih). Pelajaran yang diberikan Janadi tersebut merupakan kunci proses kreatif Rendra.

Manjing ing Kahanan, nggayuh Karsaning Hyang Widhi” bermakna pula semangat untuk hadir dan mengalir. Hadir di tengah masyarakat, mengalir mengikuti perkembangan, hidup adalah universitas kehidupan bagi Rendra. Maka seorang kreatif harus selalu berusaha memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang mengelilingi dirinya, dari saat ke saat. Mulai dari lingkungan-lingkungan terdekat: baju-bajunya, meja tulisnya, lemarinya, negaranya, segenap flora dan faunanya, tetangganya, bangsanya, bumi, langit, samudera, alam semesta raya. Janadi menganjurkan kepada Rendra bagaimana mengolah kesadaran pancaindra, kesadaran pikiran, naluri dan jiwa untuk lebih cermat dalam memedulikan lingkungan. Disiplin kepedulian harus dilanjutkan dengan langkah ngerangkul: keikhlasan untuk terlibat. Latihan keterlibatan ini harus dimulai dari lingkungan terkecil sampai jauh melebar.

Untuk melatih kepekaannya di dalam menyerap problematika sosial Rendra selalu mengaku memunculkan kesadaran indra, pikiran, hati dan naluri. “Ini harus jadi totalitas kesadaran.” Kata Rendra pula, “Saya heboh kalau sedang menulis, badan bergetar, bulu-bulu kuduk bisa berdiri. Tidak mungkin saya tuliskan kesedihan tanpa libatkan liver atau ginjal saya. Ekspresinya harus sertakan kelenjar-kelenjar tubuh, karena irama ada di situ.”

Tidak hanya bekerja di belakang meja, Rendra memasuki ruang-ruang sosial yang nyata yang sebelumnya tabu bagi citra romantisme kepenyairan kita. Bagi Rendra, Penyair harus berpihak dan tampil sebagai pembela martabat dan nurani manusia. Penyuara nurani bisa saja dibunuh, tetapi nurani itu sendiri tetap akan “hidup”, sebab setiap sejarah yang melahirkan ketidak-adilan, ia pun melahirkan martir-martir lain yang baru. “Dilarang dan tidak itu urusan pemerintah. Urusan saya adalah mencipta dan mencipta!”

Di Bengkel Teater diajari bagaimana lebur dalam kodrat alam semesta dan dalam kehendak Tuhan yang Maha Besar. Tiga tiang pokok yang dipelihara dan diperkembangkan adalah hukum akal sehat, hati nurani dan integritas pribadi. Sekolah seni terutama harus mengajarkan mata-mata kuliah yang bisa melatih kepekaan jiwa, pembentukan kepribadian-yang harus melewati peristiwa-peristiwa meditasi, pengajaran Yoga dan lain-lain. Kaun intelektual, seniman kreatif, selama ini keterlibatannya dalam seni kurang merupakan suatu keterlibatan hidup (kurang total, kurang jenuh, kurang utuh pribadi) senimannya. Rendra menggunakan teater sebagai pengendapan dari perasaan yang hidup dalam masyarakat pada zamannya. Dan, ini memang salah satu fungsi teater: refleksi dari masyarakat.

Rendra sosok penyair yang mengharuskan dirinya harus selesai dalam urusan ekonominya, alias harus mandiri. “Maka saya sekarang sudah beli kambing, sapi, Saya tahu, tak semua orang senang mengurus kambing dan sapi. Maka, saya bikin kursus bahasa Inggris, jadi kelak mereka bisa memperoleh penghasilannya dari keterampilannya…Saya tak percaya kesenian diajarkan dengan menarik bayaran. Kasihan, kan seniman hidupnya tidak pasti. Belum apa-apa sudah harus bayar. Akademi kerawitan masakan pakai uang segala. Padahal, nanti kalau lulus dari sana, belum tentu dapat imbalan sesuai dengan uang yang dikeluarkan…Pengajaran kesenian itu gratis…Makanya standar hidup harus diturunkan. Seperti sekarang ini teman-teman tidur di lantai, yang belum menikah tak punya kamar. Semua harus diusahakan pelan-pelan, tetapi yang penting harus dilakukan. Kalau tidak namanya meninggalkan kewajiban. Dengan adanya padepokan, saya ingin anggota Bengkel Teater punya kesejahteraan ekonomi yang mandiri, yang swasta…Memang tak semua orang punya rezeki seperti saya, dibantu anak istri untuk menjalani kepastian hidup. Yang tidak pasti saya bikin pasti. Pasti itu artinya hidup miskin. Orang miskin kan tidak perlu sengsara. Yang penting ada tikar ada atap. Buktinya saya lebih sehat dibandingkan orang yang tidur di tempat tidur.” Rendra membuat suasana luar biasa yang dibangun bersama bersama kawan-kawan Bengkel Teater seperti rajin membaca buku, menulis, mengekspresikan diri, tahan membaca, tahan diskusi, tahan seminar.

“Suatu impian, suatu cita-cita betapapun utopisnya, akan menuntun tangan kita untuk menarik garis yang mengacu ke sana dalam memetakan perencanaan di masa depan. suatu garis yang mungkin lain daripada arah yang secara robot kita ikuti, kalau enggan sejenak berkontemplasi.” ~Alfons Taryadi. Tak setiap orang punya keberanian untuk menyuarakan hati nuraninya, bahkan tak punya bakat dan kepekaan untuk menyuarakannya. Dari sekian ribu orang mungkin hanya sekian sastrawan, sekian politikus, dan kolumnis sosial-politik. Karenanya, sastrawan, politikus, dan kolumnis dinanti dan diharapkan setiap orang di setiap zaman. Sastrawan dan kesusastraan sosial-politik selalu dinantikan orang, selalu dirindukan generasi muda dari setiap dekade. Demikian menurut Beni Setia.

Rendra pernah ditanya mengenai masa depan Indonesia. Rendra menjawab, “Salah besar kalau Indonesia sudah tidak memiliki masa depan. selalu dan akan selalu ada masa depan buat Indonesia…belakangan saya mengamati makin banyaknya siswa SMU dan mahasiswa yang melalap habis buku-buku humaniora. Ini investasi budaya. Daya kritis tampak ketika mereka menggugat berbagai masalah kebangsaan dan lingkungan. Ini membanggakan.”

Bagi Rendra, kemajuan negara tidak mungkin diciptakan oleh penguasa. Yang bisa dilakukan penguasa paling jauh menyeret bangsanya maju setahap saja, tetapi perkembangan bertahap-tahap seperti di Inggris hanya bisa dicapai dengan kemampuan rakyat. Dan, itu bisa terjadi berkat dukungan daulat rakyat yang dilindungi oleh daulat hukum.

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(WS. Rendra)

“Dari kesusastraan, orang bisa banyak belajar banyak tentang manusia, kesadarannya, jiwanya, nalurinya, kelemahan-kelemahannya, lingkungannya, dan kebudayaannya. Masyarakat yang buta humaniora akan sulit beradaptasi dengan dunia modern dan akan babak belur dalam mengembangkan industrialisasi. Sebab menerapkan teknologi tanpa pengetahuan humaniora akan membawa dampak ketegangan sosial.”

“Rakyat Indonesia tidak pernah menjadi warga negara dengan hak yang penuh untuk bebas berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan, urusan pemerintahan, dan urusan kenegaraan…Rakyat yang tidak berdaya adalah rakyat yang kehilangan kemanusiaannya. Kekuasaan pemerintah yang absolut akan menjadi berhala. Ia bisa mengobrak-abrik tatanan moral dan peradaban.”

“Zaman revolusi, setiap orang biasa disapa dengan sebutan “bung” atau “saudara”. Akan tetapi kini, begitu kemerdekaan negara sudah mapan, mereka tak mau disapa seperti itu karena ingin disapa sebagai “bapak”. Kalau rakyat datang bertemu dengan birokrat disebut sebagai ‘menghadap’. Sikap birokrat yang sangat kurang ajar seperti itu, anehnya, sekarang ini malah disebut sebagai ‘tata tertib’…dalam perspektif budaya, reformasi politik-ekonomi takkan menjadi reformasi yang beneran bila tidak berhasil memberdayakan rakyat. Padahal setiap warga negara harus diberdayakan hingga masing-masing punya sumber nafkah, rumah tempat tinggal yang layak, dan seterusnya.”

Rendra kecil dikenalkan mengenai puisi oleh ayahnya sendiri, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo. Dikenalkannya bentuk-bentuk puisi semacam soneta, pantun, stanza, dan sebagainya. Terlebih ketika diberikan pelajaran mengenai sandiwara. Ketika berulang tahun, ayahnya memberikan sebuah mesin tulis harapannya agar anaknya menjadi semakin produktif. Mulai saat itu sajaknya bermunculan. “Saya terlibat dalam pergerakan reformasi masyarakat sejak kanak-kanak, mengikuti ayah saya.” Ayahnya RSC Brotoatmodjo adalah guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno sebuah sekolah katolik dari Yayasan Kanisius, sementara ibunya seorang penari keraton. “Saya tumbuh dalam keluarga yang idealisasinya mengubah masyarakat untuk maju.”

Rendra seorang seniman sejati, sebagai kepala keluarga, hidup bersama dua istri dan tujuh anak, ibunya bahkan prihatin menyaksikan kehidupan putranya yang tanpa penghasilan tetap, selain dari honor bermain drama. Bahkan Rendra yang selalu menolak beberapa pemberian atau subsidi dari beberapa yayasan yang bermaksud bekerja sama dengan Rendra. Bagi Rendra, dalam gelimang uang dan kemewahan, orang bisa menjadi malas dan impoten. Rendra menolak malas-malasan dan kerja-kerja rutin yang tidak kreatif. Memilih untuk menelaan buku-buku, menjalani puasa serta seringkali tidur tanpa bantal, selain sepotong kayu yang keras.

Rendra meninggal setelah menderita serangan jantung koroner pada tanggal 6 Agustus 2009. Dimakamkan di TPU Bengkel Teater Rendra, Depok. Posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak kepada apa pun dan siapa pun, tetapi kepada kebenaran. Rendra menyebut kelompok ideal seperti ini sebagai “mereka yang berumah di atas angin”.  Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?

Berikut salah satu puisi Rendra yang sarat akan kritik sosial;

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

Aku bertanya.
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
………………………………….

Menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita-wanita bunting
antri uang pensiunan.
Dan langit
para teknokrat berkata:

Bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangunin,
mesti di-up-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………………………………………………..

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku!
pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
WS. Rendra

Disadur dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi Karya WS. Rendra, diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Bandung. hal. 31.

Sumber gambar WS. Rendra: Kompas