aldiantara.kata
15.55
Setelah tahu bahwa masih ada detik sisa menuju ambang waktu di mana kereta yang bernama rutinitas akan datang menjemputmu kepada peraduan yang tidak bisa disangka-sangka kapan kau akan bisa mengulangi momen ini.
Setelah kau kerap bertanya pukul berapa kereta akan tiba. Lalu saat kereta melaju kau malah berpikir di luar kereta dengan harap dan cemas.
Dirayu mendung, menawarkan gerimis.
Banyak yang takut, mencari tempat berlabuh.
Termenung menunggu lampu hijau, dipaksa berhenti berjalan bergantian dengan kendaraan-kendaraan.
Kata-kata selalu ada pada setiap jalan yang ditempuh meski dengan sedikit jarak. Apa hendak menerimanya.
Selagi kereta menunggu kita, yang berpura tanpa diawasi waktu dan keadaan.
Beberapa menit kembali kita dipaksa masuk pada gerbong ketiga.
Kita bisa menitip lagu, kita bisa menitip kata.
Lalu kembali malam. Tiada kereta beroperasi. Penumpang siapkan senjata. Yang mereka tembakkan ke atas langit ke sisi kanan ke sisi kiri ke diri sendiri. Mereka merasa paling terluka. Mereka merasa paling prihatin. Padahal setiap-tiapnya miliki senjata. Sebagian merasa paling agul dengan kemutakhiran. Sebagian merasa paling kuat dengan bekingan.
Kereta malam justru datang.
Giliranku untuk masuk, membawa senjata, kutembakkan saja pada bibir kereta. Lalu aku bersembunyi, kembali dengan menjajakan bunga dan harapan jalur lain selain kereta itu.
2 September 2022 at 11:11 am
Apakah yang dimaksud senjata itu adalah doa pada puisi ini?
2 September 2022 at 11:42 am
Bebas tafsir sebetulnya, Kak. Hehe. Mungkin bisa juga senjata itu berupa potensi untuk menyakiti sesama. Tapi aku memilih menggunakan senjata untuk mempertanyakan ‘rutinitas’.